Senin, 27 Oktober 2014

Fatwa MUI tentang Bahaya Sepilis

Allah SWT berfirman:

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (QS. Al-Mu’minun 71).

Kaum muslimin hafizhakumullah, 
Imam As Syaukani dalam Tafsir Fathul Qadir menerangkan bahwa kalau sekiranya kebenaran Al Quran diturunkan dengan mengikuti kemusyrikan yang mereka sukai maka akan rusaklah peraturan alam. Juga kalau sekiranya kebenaran Syariat Allah harus mengikuti hawa nafsu mereka dan menyesuaikan dengan kerusakan maksud dan tujuan mereka, maka pastilah kerusakan itu akan terjadi. Akan rusaklah kehidupan manusia dan makhluk apapun yang ada di langit dan bumi. 

Sayyid Qutb dalam tafsir Fi Zhilalil Quran mengatakan dengan syariat selain Allah untuk manusia, maka manusia menjadi hamba bagi mereka yang membuat syariat, siapapun yang membuat itu selain Allah, baik pribadi, kelompok manusia, suatu bangsa, maupun perkumpulan bangsa-bangsa. Namun dengan syariat Allah, semua manusia sama posisinya sebagai manusia merdeka. Mereka tidak menyembah kecuali hanya kepada Allah. Hukum selain Allah merupakan kerusakan yang merusak kehidupan manusia. Apa yang disebut Allah SWT dalam ayat di atas sama dengan firman Allah SWT yang lain: 

لَوْ كانَ فِيهِما آلِهَةٌ إِلَّا اللَّهُ لَفَسَدَتا
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. (QS. Al Anbiya 22). 

Kaum muslimin hafizhakumullah, 
Pembuatan tema "Tuhan Membusuk; Rekonstruksi Fundamentalisme Menuju Islam Kosmopolitan" di UINSA Surabaya baru-baru ini yang merupakan cerminan dari kehendak kaum liberal yang menguasai kegiatan orientasi mahasiswa baru UINSA Surabaya adalah bentuk pemaksaan yang mereka lakukan kepada umat Islam, khususnya mahasiwa baru Fakultas Ushuluddin UINSA yang dipastikan adalah anak-anak umat Islam. Mereka ini dipaksa mengikuti produk-produk pikiran liberal yang bersumber kepada hawa nafsu mereka.  Mereka membuat pernyataan dusta dan batil bahwa Allah SWT, tuhan Yang Maha Esa telah membusuk.

Padahal Allah itu, hidup dan tidak mati, apalagi membusuk. Mereka “ngeles” dengan mengatakan bahwa tema itu dibuat untuk menyindir banyaknya pihak yang berbuat kejahatan lalu mengatasnamakan Tuhan. Dan yang mereka maksud pembuat kejahatan yang mengatasnamakan Tuhan adalah kaum fundamentalis. Tentu yang mereka maksud dengan kaum fundamentalis adalah kaum muslimin yang taat kepada Allah SWT yang terikat kepada syariat-Nya. Kaum muslimin yang aktif mengajak pemerintah dan umat agar menerapkan syariah secara kaffah yang telah memunculkan Perda-perda Syariah. Kaum muslimin yang aktif melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang mengusik kesenangan hawa nafsu kaum yang bermaksiat. Mereka mengatakan itulah Tuhan yang membusuk.  

Kaum muslimin hafizhakumullah, 

Para sahabat Rasulullah saw. adalah orang-orang yang taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa istiqomah dalam menjalankan dan menegakkan syariah, baik melaksanakan sholat, membayar zakat, melaksanakan shaum, memelihara aqidah, memakan makanan yang halal, menutup aurat, membaca dan mempelajari Al Quran, meminta keputusan hukum kepada Rasulullah Saw., tidak meminum miras, tidak makan riba, tidak berjudi, tidak mengundi nasib, tidak berzina, tidak homo, tidak lesbi,  dan mereka sangat kuat dalam beramar makruf nahi munkar serta rela mengorbankan harta dan jiwa dalam jihad fi sabilillah untuk mengibarkan panji-panji Islam. Apakah mereka tidak tahu bahwa para sahabat Nabi yang dalam kategori mereka pasti masuk “fundamentalis” itu ternyata diridoi oleh Allah SWT (QS. At Taubah 100)?    

Mereka ingin generasi mahasiswa baru UIN tidak lagi mengikuti jejak Nabi, jejak para khulafaur Rasyidin, dan jejak para sahabat r.a. Mereka ingin para mahasiswa baru UIN menjadi Islam cosmopolitan yang tidak merujuk kepada dalil-dalil syar’I sama sekali.   

Mereka ingin mahasiswa UIN menjadi mahasiswa Islam yang mengakui dan membenarkan sekularisme, pluralisme, dan liberalisme sesuai arahan orang-orang Barat sehingga mereka tidak terikat lagi dengan agama Allah. Padahal Allah SWT berfirman: 

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا 

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al Ahzab 36).         

Kaum muslimin hafizhakumullah, 
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama RI dan para petinggi UIN mestinya menyadari bahaya generasi muda Islam di UIN bila semua seperti apa yang terjadi di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya. Mereka harus mendapatkan penyegaran kembali tentang aqidah Islam dan haramnya umat Islam mengikuti sekularisme, pluralisme, dan liberalisme agama sebagaimana yang tercantum dalam Fatwa MUI No 7/2005. Memastikan bahwa fatwa tersebut telah difahami oleh seluruh dosen dan mahasiswa UIN adalah sangat urgen. Agar tidak ada lagi virus-virus sepilis di UIN sehingga tidak muncul gejala penyakit seperti spanduk penista Allah SWT tersebut.  

Juga perlu ada gerakan di masyarakat untuk mensosialisasikan fatwa tersebut agar umat Islam terbentengi aqidah mereka dari bahaya serangan virus ganas kaum liberal. Agar umat tetap beriman dan terikat kepada agama dan syariat Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa. Allah SWT berfirman: 

ثُمَّ جَعَلْناكَ عَلى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْها وَلا تَتَّبِعْ أَهْواءَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
 (QS. Al Jatsiyah 18).

Baarakallahu lii walakum…

Fatwa Majelis Ulama Indonesia No 7/2005 Tentang Pluralisme Agama dalam Pandangan Islam
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan

1. Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga.

2. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.

3. Liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.

4. Sekualisme adalah memisahkan urusan dunia dari agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.

Kedua : Ketentuan Hukum

1. Pluralisme, Sekualarisme dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

2. Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme Sekularisme dan Liberalisme Agama.

3. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap ekseklusif, dalam arti haram mencampur adukan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.

4. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.

Ditetapkan di Jakarta tanggal 22 Jumadil Akhir 1426 H / 29 Juli 2005 M.

Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia

Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa 

Ketua, 
(K.H. MA’RUF AMIN )

Sekretaris, 
(HASANUDIN)

http://www.suara-islam.com/read/index/11864/Sosialisasikan-Fatwa-MUI-tentang-Bahaya-Sepilis-

Kobarkan Semangat Hijrah di Tahun Baru Islam

Allah Swt berfirman:
       إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Baqarah 218).
Imam As Suyuthi dalam Ad Durrul Mantsur meriwayatkan suatu hadits sahih bahwa Baginda rasulullah saw. mengutus sepasukan intelijen pengintai ke Mekkah dan pasukan itu membunuh orang Quraisy tanpa mengetahui apakah itu pada bulan Rajab atau Jumadil Akhir.  Maka kejadian itu dijadikan alat propaganda Quraisy. Mereka mengatakan kepada kaum muslimin: Kalian membunuh pada bulan haram (Rajab). Lalu Allah Swt menurunkan firman-Nya yang membela kaum muslimin (QS. Al Baqarah 217). Lalu orang-orang berkata tentang pasukan itu, jika mereka tidak berdosa dengan kejadian itu, mereka juga tidak mendapatkan pahala. Lalu Allah Swt menurunkan firman-Nya yang menjamin bahwa pasukan itu dapat pahala (QS. Al Baqarah 218).
Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Quran mengatakan bahwa rahmat Allah yang diharapkan oleh orang-orang mukmin yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah  dalam ayat di atas adalah rahmat yang diharapkan juga oleh siapapun mukmin yang hatinya penuh dengan keimanan. Rahmat Allah adalah janji Allah yang haq. Orang-orang mukmin yang berhijrah di jalan Allah berjihad dan sabar hingga Allah mewujudkan janji-Nya dengan mendapatkan pertolongan-Nya atau mendapatkan syahadah. Keduanya sama-sama baik. Keduanya adalah sama-sama rahmat Allah.  Dan mereka mendapatkan keberuntungan dengan maghfirah dan rahmat Allah.  
Allah Swt memastikan keberuntungan dan rahmat-Nya itu dalam firman-Nya:
       وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الْآخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui, (QS. An Nahl 41).
Kaum muslimin hafizhakumullah,
Dalam Tafsir Jalalain diterangkan bahwa janji Allah kepada orang-orang yang berhijrah di jalan Allah untuk menegakkan agama-Nya, yakni Rasulullah saw dan para sahabatnya radliyallahu ‘anhum, adalah Dia Swt akan memberikan Negara yang baik, yakni kota Madinah, dan akan memberikan pahala akhirat berupa surga yang nilainya jauh lebih besar daripada Negara dunia. 
Ibnu Abbas r.a. dalam tafsirnya menyebut bahwa orang-orang yang berhijrah dari Mekkah ke Madinah karena taat kepada Allah setelah dizalimi penduduk Makkah akan mendapatkan posisi di kota Madinah sebagai negeri yang baik, yakni negeri yang mulia, aman, dan mendapatkan harta rampasan perang yang halal. Adapun di akhirat akan mendapatkan pahala yang besar, yang lebih besar dari segala kebaikan dan kemuliaan di dunia.    
Kaum muslimin hafizhakumullah,
Jelas bahya Allah Swt memberikan janji, dan janji Allah itu pasti, tak pernah diingkari, bahwa siapapun kaum mukmin yang beriman dan berhijrah di jalan Allah pasti akan diberikan kekuasaan di dunia. Oleh karena itu, umat Islam hari ini harus mengobarkan semangat hijrah untuk merebut kekuasaan di dunia ini untuk menerapkan syariat Allah Swt sehingga dengan syariat-Nya kekuasaan umat Islam akan kokoh, dan keberkahan Allah Swt akan terlimpah di dunia sebagai bagian dari rahmat-Nya.  
Umat Islam di masa Nabi saw. berhijrah dari kota Mekkah ke kota Madinah untuk menerapkan syariah di kota yang dikuasai oleh kaum Anshar lantaran kaum Quraisy di kota Mekkah menolak menerapkan syariah dan justru menzalimi Rasulullah saw. sebagai pembawa risalah Islam.  Kaum muslimin hari ini bisa berhijrah ke mana pun kota yang menerapkan syariah Islam.  
Jika belum ada peluang berhijrah ke kota yang menerapkan syariah Islam, maka tugas orang-orang mukmin hari ini adalah melakukan dakwah dan perjuangan untuk mengubah keadaan di kota masing-masing agar penguasa setempat menerapkan syariah-Nya. Sebab para fuqaha memberikan pengertian hijrah adalah keluar dari Negara kufur kepada Negara Islam, yakni Negara yang menerapkan syariah Islam secara formal konstitusional (lihat Ibn Qudamah Syarah Kabir Juz 10/379). Dalam perspektif wilayah Indonesia, maka siapapun mukmin yang ada di Indonesia wajib mengobarkan semangat hijrah dengan perjuangan mengubah kondisi NKRI yang masih penuh dengan bahaya sekularisme, pluralisme, dan liberalisme, penuh bahaya aliran sesat dan pemurtadan, dan penuh dengan kemasiatan seperti zina, korupsi, dan miras, serta narkoba, agar berubah menjadi NKRI yang bersyariah, yakni menerapkan hukum-hukum syariah secara formal konstitusional.    
Oleh karena itu, siapapun muslim hari ini, di tahun baru Islam ini wajib mencanangkan tekad untuk berjuang mengerahkan segala potensi yang dimilikinya untuk mendukung perubahan menuju NKRI bersyariah tersebut.  Persatuan dan kesatuan umat mutlak diperlukan untuk itu. Koordinasi antar berbagai organisasi dan gerakan serta komunitas umat wajib ditingkatkan sehingga semua fokus dalam hijrah dan jihad menuju NKRI bersyariah. Bahkan dari tingkat komunitas masjid dan tingkat RT/RW perlu dibentuk laskar-laskar Masjid untuk mewujudkan hal itu sehingga posisi sosial politik dan ekonomi umat Islam mengalami penguatan secara signifikan. Hal-hal seperti shalat jamaah dan membayar zakat serta shodaqoh yang menjamin kebutuhan fakir miskin menjadi program prioritas tiap komunitas. Demikian juga amar makruf nahi munkar. Insyaallah umat akan semakin kokoh. Allah Swt berfirman:
(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. (QS. Al Hajj 41).


Baarakallahu lii walakum…
http://www.suara-islam.com/read/index/12251/Kobarkan-Semangat-Hijrah-di-Tahun-Baru-Islam

Sistem Politik Islam

Banyak orang mengatakan bahwa kaum muslimin tidak memiliki perhatian terhadap pembicaraan tentang perkara politik. Mereka menyatakan sebagian besar pembicaraan kaum muslimin hanya berkenaan dengan perkara akhirat, perkara dunia tidak mendapatkan porsi dalam tulisan-tulisan kaum muslimin, pembicaraan kaum muslimin tertuju para perkara-perkara ghaib, alam di bawah tanah (alam kubur) bukan alam di atas tanah berupa ilmu dan pengetahuan dunia. Mereka juga menyatakan bahwa tulisan dan kajian kaum muslimin dalam perkara politik hanya sedikit sekali.
Pendapat dan perkataan banyak orang di atas telah menyebar luas dan populer dalam kehidupan kaum muslimin saat ini. Meski terkenal dan dianut oleh banyak orang, pendapat tersebut sejatinya adalah pendapat yang kosong dari bukti-bukti kebenaran. Sebagian besar orang yang mengatakan pendapat di atas tidak mengenal kajian kaum muslimin tentang politik, selain kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah karya imam Al-Mawardi.
Orang-orang yang mengatakan pendapat di atas terdiri dari dua kelompok:
Pertama, orang-orang yang menyerang agama Islam dengan pendapat tersebut, di mana mereka menuduh Islam sebagai agama yang tidak memiliki hubungan dengan urusan dunia. Mereka meyakini Islam tidak memiliki hak untuk berinteraksi dengan urusan dunia. Menurut keyakinan mereka, orang-orang Islam yang  mencoba untuk mengaitkan agama Islam dengan pengaturan urusan duniawi pada hakekatnya sedang menzalimi Islam sendiri. Mereka menganggap hal itu sebagai “pemerkosaan” terhadap agama Islam. Mereka adalah orang-orang sekuler, yang meyakini Islam sebagai agama ruhani semata, dan tidak memiliki hak maupun sistem untuk mengatur kehidupan duniawi.
Kedua, orang-orang yang meyakini bahwa Islam mengatur urusan dunia dan urusan akhirat. Mereka meyakini Islam mengatur urusan akhirat, sebab akhirat adalah negeri tempat tinggal manusia setelah manusia bersusah payah hidup di dunia. Mereka juga meyakini Islam mengatur urusan dunia, sebab dunia adalah ladang menanam untuk menuai hasilnya di akhirat. Namun orang-orang ini mencela para ulama Islam dan menuduh mereka tidak memiliki perhatian yang besar terhadap urusan dunia kaum muslimin.
Padahal persoalan sebenarnya adalah orang-orang tersebut belum mengkaji karya-karya para ulama Islam yang begitu kaya dalam bidang ini. Bahkan banyak di antara mereka yang sekedar mendengar nama karya-karya para ulama Islam pun belum pernah.
***
Sesungguhnya syariat Islam adalah syariat yang terakhir bagi umat manusia. Allah Ta’ala menurunkan syariat Islam kepada kepada penutup para nabi dan rasul, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam, sebagai pedoman hidup yang sempurna dan lengkap. Hukum-hukum dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah memberikan perhatian yang seimbang terhadap semua perkara; perkara dunia maupun perkara akhirat.
Al-Qur’an dan as-sunnah tidak membeda-bedakan antara perkara dunia dan perkara akhirat. Pembedaan antara dunia dan akhirat di dalam Al-Qur’an dan as-sunnah adalah pembedaan yang bersifat saling melengkapi, bukan pembedaan yang saling kontradiktif. Dunia adalah lading tempat menanam amal untuk akhirat. Akhirat adalah buah yang dipetik dari amal perbuatan yang ditanam di dunia. Kerusakan urusan dunia membawa bahaya bagi kehidupan di akhirat.
Hanya saja metode Al-Qur’an dan as-sunnah dalam membahas perkara dunia dan perkara akhirat beragam, tidak mengikuti satu metode semata. Al-Qur’an dan As-sunnah membahasnya dengan beragam metode; terkadang dengan pernyataan tegas, terkadang dengan isyarat halus, terkadang dengan peringatan dan cara-cara lain penunjukkan dalil terhadap hukum syar’i yang berbentuk perintah, larangan, penetapan, arahan, kisah umat-umat terdahulu dan lain-lain.
***
Defisini Siyasah (Politik) Secara Bahasa
Istilah politik dalam bahasa Arab adalah siyasah. Istilah siyasah merupakan bentuk isim mashdar (kata benda dasar)ia berasal dari kata kerja dasar saasa –  yasuusu – siyaasah. Makna dasarnya adalah mengurus sesuatu dengan hal yang membawa kebaikan baginya.
Dalam bahasa Arab, istilah siyasah memiliki banyak penunjukan, arahan dan kandungan makna. Siyasah adalah memperbaiki dan mempertahankan kebaikan, dengan beragam sarana seperti arahan, pengajaran adab, penataan akhlak, perintah dan larangan, melalui sebuah kemampuan yang bersandar kepada kekuasaan dan kepemimpinan.
Inilah makna siyasah dalam bahasa Arab, sebagaimana termuat dalam Kamus-kamus Bahasa Arab.
1. Imam Murtadha az-Zabidi (wafat tahun 1205 H) berkata:
{سُسْتُ الرَّعِيَّةَ} سِيَاسَةً، أَمَرْتُهَا ونَهَيْتُهَا.
{وساسَ الأَمْرَ} سِيَاسَةً: قامَ بِهِ. وَيُقَال: فُلانٌ مُجَرَّبٌ، قد {ساسَ} وسِيسَ عَلَيْه، أَي أَدَّبَ، وأُدِّبَ وَفِي الصّحاحِ: أَي أُمِّر وأُمِّرَ عَليه. {والسِّيَاسَةُ: القِيامُ على الشْيءِ بِمَا يُصْلِحُه.
Sustu ar-ra’iyah siyaasatan (saya mengatur rakyat dengan sebuah pengaturan): Saya memerintah dan melarang rakyat.
Saasa al-amra siyaasatan (mengatur sebuah perkara): Mengurus perkara tersebut.
Dikatakan fulan adalah orang yang berpengalaman, ia telah saasa (mengatur) dan siisa ‘alaih (diatur): Ia telah mengajari adab dan diajari adab (ia telah mendidik dan dididik). Dalam kamus AS-Shihah dikatakan maknanya adalah ia telah diangkat sebagai pemimpin dan ia pernah juga dipimpin.
Siyaasah: mengurus sesuatu perkara dengan hal yang akan membuatnya bagus.” (Tajul ‘Arusy min Jawahiril Qamus, 16/157)
2. Imam Ibnu Manzhur Al-Anshari Al-Ifriqi (wafat tahun 711 H) berkata:
والسَّوْسُ: الرِّياسَةُ، يُقَالُ سَاسُوهُمْ سَوْساً، وإِذا رَأَّسُوه قِيلَ: سَوَّسُوه وأَساسوه. وسَاس الأَمرَ سِياسةً: قَامَ بِهِ،..
وَفُلَانٌ مُجَرَّبٌ قَدْ ساسَ وسِيسَ عَلَيْهِ أَي أَمَرَ وأُمِرَ عَلَيْهِ. وَفِي الْحَدِيثِ:
كَانَ بَنُو إِسرائيل يَسُوسُهم أَنبياؤهم
أَي تَتَوَلَّى أُمورَهم كَمَا يَفْعَلُ الأُمَراء والوُلاة بالرَّعِيَّة. والسِّياسةُ: القيامُ عَلَى الشَّيْءِ بِمَا يُصْلِحه. والسياسةُ: فِعْلُ السَّائِسِ.
Saus artinya riaasah (kepemimpinan). Dikatakan (dalam bahasa Arab) saasuuhum sausan artinya ia memimpin mereka. Jika mereka mengangkatnya sebagai pemimpin, maka dikatakan (dalam bahasa Arab) sawwasuuhu dan asaasuuhuSaasa al-amra siyaasatan artinya ia mengatur sebuah urusan.
Fulan orang yang berpengalaman, ia telah saasa dan siisa ‘alaih, artinya ia telah memerintah (memimpin) dan telah diperintah (dipimpin).
Dalam hadits disebutkan: “Adalah Bani Israil yasuusuhum al-anbiya’ (para nabi memimpin mereka)”, maksudnya adalah para nabi mengatur urusan mereka sebagaimana pengaturan yang dilakukan oleh para pemimpin dan pejabat kepada rakyat.
Siyaasah adalah mengurus sesuatu dengan melakukan hal yang membawa kebaikan baginya.
Siyaasah adalah perbuatan sais (pemimpin). (Lisanul ‘Arab, 6/108)
3. Imam Najmuddin Umar bin Muhammad An-Nasafi (wafat tahun 537 H) berkata:
وَالسِّيَاسَةُ حِيَاطَةُ الرَّعِيَّةِ بِمَا يُصْلِحُهَا لُطْفًا وَعُنْفًا
Siyaasah adalah meliputi rakyat dengan hal yang membawa kebaikan bagi rakyat, baik tindakan secara lemah lembut maupun tindakan secara keras. (Thalabatut Thalabah fil Isthilahat al-Fiqhiyah hlm. 167)
Pernyataan para pakar bahasa Arab di atas mengisyaratkan bahwa ishlaah (perbaikan) dan istishlaah (mempertahankan kebaikan) bukanlah sebuah tujuan semata dalam sebuah siyaasah (politik). Ishlaah dan istishlaah adalah siyaasah (politik) itu sendiri. Jika Ishlaah dan istishlaah, niscaya siyaasah pun tidak ada.
Definisi Siyasah Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
Lafal siyaasah atau pecahan katanya tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an. A-Qur’an menggunakan lafal ishlaahamr (perintah, memerintahkan), nahy (larangan, melarang), amrun bil ma’rufnahyu ‘an al-munkaral-hukmu (memerintah, memutuskan perkara) dan lafal-lafal lain yang mewakili pengertian siyaasah.
Lafal siyaasah hanya disebutkan di dalam hadits (as-sunnah). Di antaranya dalam hadits shahih:
«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»
“Adalah dahulu Bani Israil dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi mereka meninggal, niscaya ia digantikan oleh nabi lainnya. Adapun setelah aku meninggal tidak aka nada seorang nabi pun, namun akan ada para khalifah dan jumlah mereka banyak.” (HR. Bukhari no. 3455 dan Muslim no. 1842 dari Abu Hurairah)
Tentang makna sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ, imam Yahya bin Syaraf an-Nawawi (wafat tahun 676 H) berkata:
أَيْ يَتَوَلَّوْنَ أُمُورَهُمْ كَمَا تَفْعَلُ الْأُمَرَاءُ وَالْوُلَاةُ بِالرَّعِيَّةِ وَالسِّيَاسَةُ الْقِيَامُ عَلَى الشيْءِ بِمَا يُصْلِحُهُ
“Yaitu para nabi tersebut mengatur urusan mereka sebagaimana para pemimpin dan pejabat melakukannya terhadap rakyat. Siyaasah adalah mengurus sesuatu perkara dengan melakukan hal yang membawa kebaikan bagi sesuatu perkara tersebut.” (Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, 12/231)
Kesimpulan Definisi Siyasah
1. Syaikh Muhammad bin Syakir As-Syarif menulis: “Dari sini menjadi jelas bahwa istilah siyaasah di dalam syariat Islam dipergunakan dengan pengertiannya secara bahasa, yaitu pengurusan urusan rakyat oleh para pemimpin mereka dengan hal yang membawa kebaikan bagi mereka, baik dengan sarana perintah, larangan, arahan, penataan akhlak dan segala hal yang diperlukan termasuk menetapkan tata tertib dan aturan-aturan managerial (administratif), yang mampu merealisasikan kemasalahatan bagi rakyat, baik dengan mendatangkan kebaikan atau perkara yang layak maupun menolak keburukan atau perkara yang tidak layak. (Artikel beliau berjudul As-Siyasah asy-Syar’iyyah: Ta’rif wa Ta’shil, dimuat oleh Majalah Al-Bayan, London, edisi 197 bulan Muharram 1425 H)
2. Definisi tersebut menunjukkan aspek praktek dari apa yang dinamakan siyasah (politik). Ia adalah tindakan-tindakan, usaha-usaha dan pengaturan-pengaturan untuk membawa kebaikan bagi sebuah perkara (rakyat yang dipimpin). Siyasah ar-ra’iyah (memimpin rkayat) menuntut kemampuan memimpin secara bijaksana guna merealisasikan maslahat bagi seluruh rakyat, dengan cara pengaturan yang baik dan kehati-hatian dalam melakukan tindakan atau tidak melakukan sebuah tindakan.
Hal ini menuntut pengetahuan sepenuhnya terhadap pengalaman, pembelajaran, latihan, kebijaksanaan, kedewasaan, dan kemampuan memberdayakan potensi yang ada sebaik mungkin untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang hendak diraih.
Pengertian inilah yang juga bisa disimpulkan dari pendapat para ulama Islam. Misalnya:
1. Saat menjelaskan hikmah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu menunjuk enam orang sahabat sebagai panitia pemilihan calon khalifah sepeninggalnya; imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari (wafat tahun 310 H) berkata:
لَمْ يَكُنْ فِي أَهْلِ الْإِسْلَامِ أَحَدٌ لَهُ مِنَ الْمَنْزِلَةِ فِي الدِّينِ وَالْهِجْرَةِ وَالسَّابِقَةِ وَالْعَقْلِ وَالْعِلْمِ وَالْمَعْرِفَةِ بِالسِّيَاسَةِ مَا لِلسِّتَّةِ الَّذِينَ جَعَلَ عُمَرُ الْأَمْرَ شُورَى بَيْنَهُمْ
Karena di kalangan umat Islam pada waktu tersebut tiada ada seorang pun yang memiliki kedudukan dalam hal agama, hijrah, kepeloporan (masuk Islam), akal sehat (kecerdasan), ilmu dan pengetahuan tentang siyasah, seperti (terkumpulnya sifat-sifat tersebut) pada diri enam orang yang ditunjuk oleh Umar sebagai dewan syura.” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 13/198)
2. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (wafat tahun 825 H) berkata:
وَالَّذِي يَظْهَرُ مِنْ سِيرَةِ عُمَرَ فِي أُمَرَائِهِ الَّذِينَ كَانَ يُؤَمِّرُهُمْ فِي الْبِلَادِ أَنَّهُ كَانَ لَا يُرَاعِي الْأَفْضَلَ فِي الدِّينِ فَقَطْ بَلْ يُضَمُّ إِلَيْهِ مَزِيدُ الْمَعْرِفَةِ بِالسِّيَاسَةِ مَعَ اجْتِنَابِ مَا يُخَالِفُ الشَّرْعَ مِنْهَا
“Nampak jelas dari perjalanan hidup (kebijakan) Umar dalam mengangkat para pejabat (gubernur) wilayah-wilayah bahwa ia tidak hanya mempertimbangkan orang yang paling mulia dalam masalah agama semata, namun lebih dari itu ditambah dengan pengetahuan yang lebih tentang siyasah (keahlian memimpin rakyat) dan menjauhi siyasah (kebijakan) yang menyelisihi syari’at.” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 13/198)
Wallahu a’lam bish-shawab
Bersambung, insya Allah Ta’ala….
http://www.arrahmah.com/kajian-islam/pengantar-sistem-politik-islam-1.html

Wajibkah Adanya Mahram Bagi Wanita yang Melakukan Safar



Safar wanita masih menjadi bahan perdebatan dikalangan ulama, hal ini karena dalil-dalil yang berhubungan dengan safar wanita masih bersifat umum, sehingga berpotensi menimbulkan berbagi penafsiran. Tulisan di bawah ini menjelaskan perbedaan ulama tersebut:

Pengertian Safar
Safar secara bahasa adalah melakukan perjalanan. Safar juga berarti terbuka, disebut demikian  karena orang yang melakukan safar akan terbuka dirinya dari tempat tinggalnya ke tempat yang terbuka. Begitu juga orang yang melakukan safar akan terbuka akhlaq, perilaku dan perangai aslinya, yang selama ini tertutup ketika seseorang tidak mengadakan perjalanan. (Ibnu mandhur, Lisan al-Arab).

Oleh karenanya, wanita yang tidak menggunakan jilbab, sehingga sebagian anggota tubuhnya terlihat disebut dengan “Safirah“ (wanita terbuka auratnya).

Adapun Safar secara istilah para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan batasnya. Mayoritas ulama menentukan bahwa safar adalah perjalanan yang jaraknya lebih dari 85 km. Sedangkan sebagian lainnya mengatakan, batasan suatu perjalanan disebut dengan safar atau tidak, dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat masing-masing. Mereka berpedoman dengan kaidah fiqih yang menyatakan:

“Setiap istilah yang tidak mempunyai batasan di dalam bahasa Arab, dan tidak pula dalam syariat (al-Qur’an dan sunnah), maka dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat.“

Pengertian Mahram
Mahram secara bahasa adalah seseorang yang diharamkan menikah dengannya. (Mukhtar as-Shihah: 1/ 56). Adapun mahram secara istilah adalah seorang laki-laki yang diharamkan menikah dengan seorang perempuan selamanya karena nasab, seperti hubungan bapak, anak, saudara dan paman, atau karena sebab yang mubah seperti suami, anak suami, mertua, saudara sesusuan.“

Bentuk-bentuk Safar Wanita

Safar yang dilakukan wanita bisa dibagi menjadi tiga bentuk:
Pertama: Safar Mubah, seperti melakukan perjalan untuk rekreasi.
Kedua: Safar Mustahab (yang dianjurkan), seperti melakukan perjalanan untuk mengunjungi orang sakit atau  menyambung silaturahim.
Imam Baghawi berkata sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathu al-Bari (4/76): “Para ulama tidak berbeda pendapat tentang ketidakbolehan seorang perempuan melakukan perjalanan yang bukan wajib, kecuali harus disertai suaminya atau mahramnya. Kecuali bagi perempuan kafir yang masuk Islam kemudian ingin berhijrah dari Dar al-Harbi (Negara Kafir) atau dia dalam keadaan ditawan musuh dan bisa lepas.“

Pernyataan di atas kurang akurat, karena pada kenyataannya terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ini, seperti yang diriwayatkan dari al-Karabisi salah satu ulama Syafi’iyah yang membolehkan wanita melakukan safar mustahab tanpa disertai mahram.

Ketiga: Safar Wajib, seperti melakukan perjalanan untuk melaksanakan ibadah haji, menolong orang sakit dan berbakti kepada orang tua. Jika seorang wanita melakukan safar dalam bentuk ketiga ini tanpa mahram, para ulama   berselisih pendapat tentang status hukumnya:

Pendapat Pertama, mengatakan bahwa seorang wanita tidak boleh melaksanakan ibadah haji kecuali dengan mahramnya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau.

Mereka berdalil dengan keumuman hadits-hadist yang melarang seorang wanita melakukan safar tanpa mahram, diantaranya adalah hadist Ibnu Abbas: radhiyallahu 'anhuma bahwa dia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabdas :

"Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkholwat (berduaan) dengan seorang wanita dan janganlah sekali-kali seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya". Lalu ada seorang laki-laki yang bangkit seraya berkata: "Wahai Rasulullah, aku telah mendaftarkan diriku untuk mengikutu suatu peperangan sedangkan istriku pergi menunaikan hajji". Maka Beliau bersabda: "Tunaikanlah hajji bersama istrimu" (HR Bukhori)

Hadits di atas menunjukkan bahwa mahram adalah syarat wajib haji bagi seorang wanita muslimah.
Pendapat Kedua, mengatakan bahwa seorang wanita muslimah dibolehkan melaksanakan ibadah haji tanpa mahram.  Dan mahram bukanlah syarat wajib haji bagi seorang wanita muslimah. Ini adalah pendapat Hasan Basri, Auza’I, Imam Malik Syafi’I, dan Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau, serta pendapat Dhahiriyah. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Taimiyah dalam riwayat terakhir beliau. (al-Majmu’: 8/382, al-Furu’: 3/ 177)

Imam Malik menyatakan bahwa mahram bisa diganti dengan rombongan wanita yang bisa dipercaya selama perjalanan aman. Berkata Imam al Baji al-Maliki : “Adapun yang disebut oleh sebagian ulama dari teman-teman kami, itu dalam keadaan sendiri dan jumlah yang sedikit. Adapun dalam keadaan jumlah rombongan sangat banyak, sedang jalan – yang dilewati – adalah jalan umum yang ramai dan aman, maka bagi saya keadaan tersebut seperti keadaan dalam kota yang banyak pasar-pasarnya dan para pedagang yang berjualan, maka seperti ini dianggap aman bagi wanita yang bepergian tanpa mahram dan tanpa teman wanita. “ (al-Muntaqa : 3/17)

Dalil mereka sebagai berikut :
Dalil Pertama: Hadist Adi bin Hatim, bahwa Nabi shollallahu alahi wassalam bersabda :
“Seandainya kamu diberi umur panjang, kamu pasti akan melihat seorang wanita yang mengendarai kendaraan berjalan dari Al Hirah hingga melakukan thawaf di Ka'bah tanpa takut kepada siapapun kecuali kepada Allah".  (HR. Bukhari)

Hadit di atas berisi tentang pujian dan sanjungan pada suatu perbuatan, hal itu menunjukkan kebolehan.Sebaliknya hadist yang mengandung celaan  kepada suatu perbuatan menunjukkan keharaman perbuatan tersebut. (Umdatu al-Qari : 16 /148)

Dalil Kedua: Atsar Ibnu Umar.
Dari Ibnu Umar bahwa beliau memerdekakan beberapa budak perempuannya. Kemudian beliau berhaji dengan mereka. Setelah dimerdekakan, tentunya mereka bukan mahram lagi bagi Ibnu Umar. Berarti para wanita tersebut pergi haji tanpa mahram. (Disebutkan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla)

Dalil Ketiga: Atsar Aisyah.
“Dari Aisyah tatkala ada orang yang menyampaikan kepada beliau bahwa mahram adalah syarat wajib haji bagi wanita muslimah, beliau berkata:  “Apakah semua wanita memiliki mahram untuk pergi haji?!” (Riwayat Baihaqi)

Dalil Keempat: Kaidah Fiqhiyah.
“Dalam masalah ibadah mahdha dasarnya adalah  ta’abbud, ( menerima apa adanya tanpa dicari-cari alasannya, seperti jumlah rekaat sholat) dan dalam masalah mu’amalat dasarnya adalah ta’lil.( bisa dicerna dengan akal dan bisa dicari alasannya, seperti jual beli dan pernikahaan ) ”

Masalah safar wanita termasuk dalam katagori mu’amalat, sehingga bisa kita cari alasan dan hikmahnya yaitu untuk menjaga keselamatan wanita itu sendiri dan ini bisa terwujud dengan adanya teman-teman wanita yang bisa dipercaya apalagi dalam jumlah yang banyak dan jalan dianggap aman.

Dalil Kelima: Kaidah Fiqhiyah
“Hukum yang ditetapkan dengan ijtihad bisa berubah menurut perubahan waktu, keadaan, tempat dan perorangan.“

Berdasarkan kaidah di atas, sebagian ulama kontemporer seperti Syekh Abdurrozaq Afifi (Fatawa wa Rasail: 1/201) membolehkan seorang wanita bepergian sendiri atau bersama beberapa temannya yang bisa dipercaya dengan naik pesawat, diantar oleh mahramnya ketika pergi dan dijemput juga ketika datang.  Bahkan keadaan seperti ini jauh lebih aman dibanding jika seorang wanita berjalan sendiri di dalam kota, khususnya kota-kota besar.

Dalil Keenam: Kaidah Fiqhiyah.
“Apa-apa yang diharamkan karena dzatnya, tidaklah dibolehkan kecuali dalam keadaan darurat, dan apa-apa yang diharamkan dengan tujuan menutup jalan (kemaksiatan), maka dibolehkan pada saat dibutuhkan “

Ketidakbolehan wanita melakukan safar tanpa mahram tujuannya untuk menutup jalan kemaksiatan dan bahaya baginya, maka hal itu menjadi dibolehkan manakala ada kebutuhan, khususnya jika ditemani dengan rombongan yang dipercaya dan keadaan jalan aman.

Pendapat yang Kuat:

Pendapat yang kuat bahwa mahram bukanlah syarat wajib haji bagi wanita muslimah berdasarkan hadist dan atsar di atas.Tetapi boleh bersama rombongan perempuan yang bisa dipercaya, khususnya jika keadaan aman.

Adapun hadist Ibnu Abbas yang mensyaratkan mahram, peristiwa tersebut bukan pada haji wajib, tetapi pada haji yang sunnah. Karena haji baru diwajibkan pada tahun 10 H, dimana Rasulullah pada waktu itu juga melaksanakan ibadah haji.

Walaupun demikian, diharapkan bagi wanita yang ingin melaksanakan haji dan umrah atau melakukan safar wajib lainnya, hendaknya bersama mahramnya, karena itu lebih terhindar dari fitnah dan marabahaya lainnya. Ini pada safar wajib, tentunya dalam safar mubah dan mustahab lebih ditekankan lagi. Tetapi dalam keadaan-keadaan tertentu yang dibutuhkan sekali, kita bisa mengambil pendapat ulama yang membolehkan dengan syarat-syarat yang sangat ketat. Dengan demikian Islam dipahami sebagai agama yang selalu menjaga kehormatan dan keselamatan wanita, sekaligus memberikan solusi-solusi yang bisa dipertanggung jawabkan baik secara agama maupun secara sosial disaat tidak ada pilihan lain. Wallahu a’lam.
Sumber:
http://ahmadzain.com/read/ilmu/417/hukum-safar-wanita/
http://www.suara-islam.com/read/index/11910/Wajibkah-Adanya-Mahram-Bagi-Wanita-yang-Melakukan-Safar-

7 Langkah Sukses Poligami Ala Ust. Arifin Ilham

Bogor (SI Online) - Pimpinan Majelis Az Zikra Ustaz Muhammad Arifin Ilham menyayangkan ada sebagian umat Islam yang menolak poligami, padahal itu perintah Allah dan sunnah Rasulullah Saw. Ia mengingatkan, jangan sampai ketidaksukaan terhadap poligami menjadi penolakan terhadap hukum Allah.

"Tidak akan masuk syurga orang yang menolak hukum Allah, walaupun hanya satu ayat," tegas Ustaz Arifin saat halaqah shubuh di masjid Az Zikra, Sentul Bogor, Ahad (3/8/2014).

Ia mengaku, keputusannya berpoligami semata-mata karena Allah, ia tidak peduli dengan orang-orang yang menolaknya.

"Arifin tidak peduli, mau dicibir, dihina, yang penting ini dilakukan karena Allah," ujarnya.

Ia pun menyayangkan sikap media sekuler yang selama ini mempromosikan aktvitas zina dan sebaliknya menghantam poligami.

"Mereka mengusung ide liberal (kebebasan), mereka itu kejam, selalu memutarbalikkan fakta, jahat sekali mereka. Semua cara mereka pakai untuk menjatuhkan orang-orang yang hidupnya cinta dengan syariah," kata Ustaz Arifin.

Namun menurutnya, untuk berpoligami tidaklah mudah, ada sejumlah langkah yang harus ditempuh agar poligami berujung dengan baik.

"Jika sudah mampu lahir batin, ada 7 langkah agar poligami bahagia. Pertama ijin kepada Allah Swt lewat istikhoroh, ijin kepada orang tua, ijin dan minta nasihat kepada para ulama, lalu ijin kepada istri, ijin ke mertua, ijin juga kepada anak-anak, dan terakhir ijin pada negara maksudnya terdaftar di Kantor Urusan Agama (KUA). Itulah yang saya lakukan dan itu bertahun-tahun prosesnya. Apakah tanpa semua itu bisa? bisa dan sah, tapi tidak bahagia," terang Ustaz Arifin.

Selain itu, ia juga selalu mengadakan pengajian rutin dirumah bersama kedua istrinya untuk menambah ilmu agama serta untuk menjaga komunikasi dengan baik dalam rumah tangganya.

Terkait ijin negara, Ustaz yang selalu terlihat harmonis dengan kedua "bidadarinya" ini menjelaskan, bahwa itu sebagai langkah adil untuk kedua istrinya. "Istri pertama dengan surat nikah, istri kedua juga harus pakai dong," ujarnya.

Ia bercerita bagaimana pentingnya surat nikah. Kisah seorang istri kedua yang dinikah siri tanpa sepengetahuan, kemudian ia menuntut harta warisan kepada istri pertama saat sang suami meninggal yang akhirnya menimbulkan fitnah, bahkan si istri pertama menolaknya sampai memakai pengacara. Karena istri keduanya tidak punya surat nikah, tidak bisa dibuktikan, akhirnya terbengkalai si istri kedua dan anaknya. Tidak hanya itu, surat nikah juga penting untuk catatan administrasi seperti pembuatan akta kelahiran dan lain-lain.

http://www.suara-islam.com/read/index/11570/7-Langkah-Sukses-Poligami-Ala-Ustaz-Arifin-Ilham

Cek & Ricek Terhadap Setiap Informasi

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah (kebenarannya) dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. Al-Hujurat: 6)

Ayat ini -seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Katsir- termasuk ayat yang agung karena mengandung sebuah pelajaran yang penting agar umat tidak mudah terpancing, atau mudah menerima begitu saja berita yang tidak jelas sumbernya, atau berita yang jelas sumbernya tetapi sumber itu dikenal sebagai media penyebar berita palsu, isu murahan atau berita yang menebar fitnah. Apalagi perintah Allah ini berada di dalam surah Al-Hujurat, surah yang sarat dengan pesan etika, moralitas dan prinsip-prinsip mu’amalah sehingga Sayyid Quthb mengkategorikannya sebagai surah yang sangat agung lagi padat (surat jalilah dhakhmah), karena memang komitmen seorang muslim dengan adab dan etika agama dalam kehidupannya menunjukkan kualitas akalnya (adabul abdi unwanu aqlihi).

Peringatan dan pesan Allah dalam ayat ini tentu bukan tanpa sebab atau peristiwa yang melatarbelakangi. Terdapat beberapa riwayat tentang sebab turun ayat ini yang pada kesimpulannya turun karena peristiwa berita bohong yang harus diteliti kebenarannya dari seorang Al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu’ith tatkala ia diutus oleh Rasulullah untuk mengambil dana zakat dari Suku Bani Al-Musththaliq yang dipimpin waktu itu oleh Al-Harits bin Dhirar seperti dalam riwayat Imam Ahmad. Al-Walid malah menyampaikan laporan kepada Rasulullah bahwa mereka enggan membayar zakat, bahkan berniat membunuhnya, padahal ia tidak pernah sampai ke perkampungan Bani Musththaliq. 

Kontan Rasulullah murka dengan berita tersebut dan mengutus Khalid untuk mengklarifikasi kebenarannya, sehingga turunlah ayat ini mengingatkan bahaya berita palsu yang coba disebarkan oleh orang fasik yang hampir berakibat terjadinya permusuhan antar sesama umat Islam saat itu. Yang menjadi catatan disini bahwa peristiwa ini justru terjadi di zaman Rasulullah yang masih sangat kental dan dominan dengan nilai-nilai kebaikan dan kejujuran. Lantas bagaimana dengan zaman sekarang yang semakin sukar mencari sosok yang jujur dan senantiasa beri’tikad baik dalam setiap berita dan informasi yang disampaikan?.

Secara bahasa, kata fasiq dan naba’ yang menjadi kata kunci dalam ayat di atas disebut dalam bentuk nakirah (indifinitive) sehingga menunjukkan seseorang yang dikenal dengan kefasikannya serta menunjukkan segala bentuk berita dan informasi secara umum; berita yang besar atau kecil, yang terkait dengan masalah pribadi atau sosial, apalagi berita yang besar yang melibatkan segolongan kaum atau komunitas tertentu yang berdampak sosial yang buruk.

Sayyid Thanthawi mengemukakan analisa redaksional bahwa kata “in” yang berarti “jika” dalam ayat “jika datang kepadamu orang fasik membawa berita” menunjukkan suatu keraguan sehingga secara prinsip seorang mu’min semestinya bersikap ragu dan berhati-hati terlebih dahulu terhadap segala informasi dari seorang yang fasik untuk kemudian melakukan pengecekan akan kebenaran berita tersebut sehingga tidak menerima berita itu begitu saja atas dasar kebodohan (jahalah) yang akan berujung kepada kerugian dan penyesalan. Maka berdasarkan acuan ini, sebagian ulama hadits melarang dan tidak menerima berita dari seseorang yang majhul (tidak diketahui kepribadiannya) karena kemungkinan fasiknya sangat jelas.

Berdasarkan hukumnya, As-Sa’di membagikan sumber (media) berita kepada tiga klasifikasi:
Pertama, berita dari seorang yang jujur yang secara hukum harus diterima.
Kedua, berita dari seorang pendusta yang harus ditolak.
Ketiga, berita dari seorang yang fasik yang membutuhkan klarifikasi, cek dan ricek akan kebenarannya.

Disini, yang harus diwaspadai adalah berita dari seorang yang fasik, seorang yang masih suka melakukan kemaksiatan, tidak komit dengan nilai-nilai Islam dan cenderung mengabaikan aturannya. Lantas bagaimana jika sumber berita itu datang dari media yang cenderung memusuhi Islam dan ingin menyebar benih permusuhan dan perpecahan di tengah umat, tentu lebih prioritas untuk mendapatkan kewaspadaan dan kehati-hatian.

Selain sikap waspada dan tidak mudah percaya begitu saja terhadap sebuah informasi yang datang dari seorang fasik, Allah juga mengingatkan agar tidak menyebarkan berita yang tidak jelas sumbernya tersebut sebelum jelas kedudukannya. Allah swt berfirman:

مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
 “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. (QS. Qaaf: 18).

Sehingga sikap yang terbaik dari seorang mukmin seperti yang pernah dicontohkan oleh para sahabat yang dipelihara oleh Allah saat tersebarnya isu yang mencemarkan nama baik Aisyah ra adalah mereka tetap berbaik sangka terhadap sesama mukmin dan senantiasa berwaspada terhadap orang yang fasik, apalagi terhadap musuh Allah yang jelas memang menginginkan perpecahan dan perselisihan di tubuh umat Islam.

وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُم مَّا يَكُونُ لَنَا أَن نَّتَكَلَّمَ بِهَٰذَا سُبْحَانَكَ هَٰذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ
“Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: “Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini. Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.” (QS. An-Nur: 16).

Dalam sebuah riwayat dari Qatadah disebutkan, “At-Tabayyun minaLlah wal ‘ajalatu Minasy Syaithan”, sikap tabayun merupakan perintah Allah, sementara sikap terburu-buru merupakan arahan syaitan.

Semoga kita mampu menangkap pesan Allah yang cukup agung ini agar terhindar dari penyesalan dan kerugian. Allahu a’lam

http://www.suara-islam.com/read/index/8971/Sikap-Tabayyun-terhadap-Informasi